JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Tabah Kala Musibah, Meneladani Tiga Kiai
Home » Tabah Kala Musibah, Meneladani Tiga Kiai

JAS HIJAU – Tanpa menafikan tokoh lain, ketiga kiai hingga wafatnya, dikenal sebagai sosok yang melewati keadaan sakit tanpa terdengar suara mengadu sama sekali.
Ketiganya ialah: K.H. Khozin Yahya, K.H. Qosim Bukhori dan K.H. Said Yahya.
Sekali lagi, tentu ada banyak orang yang begitu sabar saat menjalani cobaan hidup berupa sakit, namun ketiga sosok tersebut dapat dipastikan tergolong orang-orang yang tabah sewaktu ditimpa penyakit, karena kesaksian tentang hal itu tidak perlu disangsikan lagi.
Hampir-hampir semua orang dekat masing-masing beliau mengiyakan ketika ditanya soal ketabahan mereka bertiga sewaktu sakit.
K.H. Khozin Yahya (1939-2000)
Penyakit yang diderita oleh putera pertama Kiai Yahya Syabrawi ini sejak lama adalah kencing manis (diabetes), namun belakangan beliau menderita komplikas. Seperti kebanyakan penderita penyakit gula lainnya, berbagai cara penyembuhan telah dicoba, mulai dari pengobatan medis sampai jalan alternatif.
Kiai berputera lima itu wafat pada tahun 2000, tepatnya bulan Ramadan tahun 1420 H, sekitar pukul 01:00 WIB. Kemudian jenazah beliau dikuburkan sekitar pukul 10:00 WIB di pemakaman Syaikhona Bukhori Ismail selatan masjid Asy-Syafi’iyah Ganjaran. Kiai Khozin wafat di kediamannya sendiri, setelah menjalani perawatan di RSI Aisyiyah Malang.
Dari kalangan santri, Ustaz Salamun dan Ustaz Syamsul A’dlom termasuk orang yang menemani Kiai Khozin Yahya saat-saat kritis. Menurut Ustaz Salamun, kendati kondisi beliau mengalami sesak nafas yang cukup memilukan, tetapi dari bibir beliau tak henti-hentinya terucap lafaz “Allah”, sembari sesekali beliau melihat jam dinding hingga beliau dipanggil Sang Khalik.
Usai disucikan, jenazah kiai yang senantiasa membaca al-Qur’an setiap malam itu, disemayamkan terlebih dahulu di musala Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 puteri. Setelah matahari terbit, jasad beliau dipindahkan ke musala putera sampai proses penggalian makam rampung.
Karena para pelayat menyemut, jenazah beliau dibawa dengan menggunakan mobil ambulance yang berjalan berkat dorongan para “musyaiyi’in” sampai lokasi halaman masjid. Imam dan pemberi kata penghormatan terakhir disampaikan oleh paman dan karib almarhum, K.H. Qosim Bukhori. Sepanjang sejarah menyampaikan sambutan kematian, baru kali ini kiai yang berdomisili di desa Putukrejo, Gondanglegi itu meneteskan air bening di pipinya.
Baca juga: Mengenal Kiai Khozin Yahya, Sang Penjaga Pesantren
Tidak banyak cerita seputar kondisi sakit Kiai Khozin Yahya yang sempat terekam, kecuali kesabaran menghadapi sakit yang dideritanya.
Bahkan seorang santri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran yang bernama Bapak Khozin menceritakan bahwa pada suatu hari, ketika Kiai Khozin Yahya sakit parah, ia dipanggil untuk menghadap ke rumahnya. Setelah santri dekat sang kiai ini berada di depan beliau, kemudian Kiai Khozin Yahya menyuruhnya mengambil uang yang di taruh di bawah bantal, sembari berkata:
“Kalak pesse jiyah, terus gebei melleh kajuh ontok bangkunah nak-kanak madrasah diniyah. Enca’eh diniyah kekorangan bangku. (Ambil uang itu, guna membeli kayu untuk kebutuhan bangku madrasah diniyah. Katanya diniyah kekurangan bangku.”
Dari kisah seputar masa sakit tokoh masyarakat yang dikenal pendiam (low profile) itu, dapat disimpulkan bahwa sekalipun dalam kondisi sakit, beliau masih sangat peduli terhadap pendidikan agama.
K.H. Qosim Bukhori (1940-2010)
Semenjak pertengahan tahun 2008, K.H. Qosim Bukhori jatuh sakit karena terkena serangan stroke. Saat itu, persiapan kegiatan “Khalwah” sudah dilakukan, namun karena Kiai Qosim mendadak tidak sadarkan diri yang menurut diagnosa dokter diakibatkan pembuluh darah pecah menjadikan rutinan setiap bulan Rajab itu urung diselenggarakan.
Sebetulnya kondisi kesehatan putera “Kiai Masjid” Ganjaran itu mulai terlihat sejak beliau bertandang ke Kalimantan Barat pada tahun 2007. Dalam lawatan dakwah rutinitas tahunan di wilayah Borneo tersebut, kiai berputera lima itu pernah terjatuh di salah satu kediaman seorang ikhwan Thariqah Naqsyabandiyah. Kejadian ini disinyalir sebagai indikasi awal bahwa beliau telah terjangkit penyakit yang acap kali melumpuhkan penderitanya.
Selama menjalani perawatan di RS Panti Nirmala Malang, Kiai Qosim Bukhori sempat koma selama kurang lebih dua minggu. Melalui penanganan intensif, nyawa salah satu pendiri PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) Kabupaten Malang ini dapat tertolong, kendati pada masa berikutnya, kelumpuhan beberapa anggota badan beliau tidak bisa terelakkan.
Saat-saat tubuh beliau tidak mampu digerakkan dan lisan beliau pun tak bisa berucap kata-kata dengan jelas, dijalani selama kira-kira sembilan puluh dua hari.
Waktu-waktu hidup beliau dilewati hanya berada di atas kursi roda itulah, kesabaran beliau begitu sangat tampak sekali. Semua kalangan, mulai dari keluarga, kerabat dekat hingga santri yang turut menjaga beliau, mengakui bahwa hampir-hampir sama sekali tak pernah mendengar keluh kesah dari beliau.
Padahal menurut sebagian besar orang-orang yang berpengalaman menunggui pasien yang lumpuh, serta hasil penelitian di dunia kesehatan, menyebutkan bahwa orang yang menyandang sakit sebagaimana Kiai Qosim itu akan berpotensi timbulnya perasaan yang relatif bertemperamental tinggi. Seringkali pasien mudah tersinggung dan emosi yang bersangkutan sulit dikontrol oleh dirinya.
Tetapi hal demikian tidak terjadi pada diri pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 2 Putukrejo, Gondanglegi, Malang itu. Benar-benar tampak bahwa beliau begitu sangat kuat menahan segala macam risiko hidup usai dapat cobaan berupa sakit. Bisa dibayangkan, beliau menerima keadaan separuh badan lunglai hampir selama dua tahun lebih tiga bulan tanpa terdengar kata-kata mengeluh.
Menurut Gus Nur Hafidz Romli, uang pemberian para tetamu yang sowan kepada Kiai Qosim Bukhori selama beliau sakit, selalu dititipkan kepadanya. Sebagai santri dekat yang ditugasi merawat beliau, ia menyimpan uang tersebut sampai-sampai Nyai Zainab sekalipun merasa heran perihal uang tersebut, karena isteri Kiai Qosim itu sama sekali tidak tahu ke mana raibnya rupiah di maksud.
Setelah sekian hari Kiai Qosim Bukhori wafat, santri yang kini menjadi cucu menantu beliau itu, mengutarakan tentang uang yang disimpannya selama kurun waktu beliau jatuh sakit kepada Nyai Hj. Zainab Qosim. Ternyata jumlah uang tersebut nyaris tidak terpaut jauh dari biaya pengobatan selama berada di rumah sakit yang dulu sering disebut “Tongaisa” itu.
Baca juga: Memungut Jejak Kiai Qosim Bukhori
K.H. Qosim Bukhori menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 08 Dzulhijjah 1431 H/14 November 2010 M, hari Ahad malam Senin, pukul 19:00 WIB, di RS Panti Nirmala Malang. Jenazah beliau dimakamkan di lingkungan Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 2 Putukrejo, tepatnya di depan kediaman beliau sendiri atas arahan Gus Hamim Kholili setelah mendapat restu Nyai Hj. Zainab Qosim.
Jenazah beliau disalati di masjid Baitul Muttaqin Putukrejo dan berlaku sebagai imam dan pemberi kalimat kesaksian adalah K.H. Mujtaba Bukhori, adik almarhum. Dalam sambutannya, pengasuh Pondok Pesantren Al-Bukhori atau Pondok Pesantren Raudlatul Ulum V Ganjaran itu mengungkapkan bahwa kakaknya itu telah diangkat derajatnya.
Sekilas gambaran kisah sakit Ketua YPRU (Yayasan Pendidikan Raudlatul Ulum Ganjaran) itu mempertunjukkan bahwa beliau sangat tabah menerima cobaan dari Allah swt, dan bahkan masih sempat memperingan beban biaya pengobatan yang seharusnya ditanggung keluarga.
K.H. Said Yahya (1954-2018)
Putera pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran, Gondanglegi, Malang itu menderita penyakit yang sama dengan kakaknya, Kiai Khozin Yahya.
Sebelum dirawat-inapkan di RSI Gondanglegi dan RSUD Malang yang kemudian menjadi saksi terakhir beliau menghembuskan nafas terakhirnya, beliau sudah berulang kali melakukan rawat jalan dan opname di beberapa rumah sakit di wilayah Malang.
Pada awalnya, penyakit yang disandang kiai berputera lima orang itu adalah kencing manis (diabetes). Namun belakangan, dalam tubuh beliau terdeteksi penyakit paru-paru basah yang akut, sehingga cairan yang mengendap dalam diri beliau harus disedot secara berkala.
Akibat penyakit yang dideritanya, menyebabkan pernafasan beliau sangat tersengal begitu berat. Sampai-sampai dokter yang menangani beliau menggambarkan, ibarat orang yang sedang berada dalam lautan, beliau tengah tenggelam sehingga sulit untuk mengeluarkan nafas.
Sejak pertama penyakit mulai menghinggapi beliau sampai menit-menit ajal menjemput, tidak seorang pun dari keluarganya yang menemukan keluh kesah yang keluar dari bibir beliau.
Kiai Said Yahya merupakan perokok berat. Seakan tidak pernah terlihat sosok suami Nyai Hj. Ruqaiyah itu tanpa sebatang kretek dalam apitan jemarinya. Pernah suatu saat, beliau diperiksakan oleh keluarganya ke sebuah rumah sakit, sebab batuk yang menghiasi nafasnya dipandang cukup mengkhawatirkan. Dalam diagnosa sementara, dokter memvonis beliau telah terjangkiti penyakit paru-paru akibat “udud”.
Namun untuk memastikan keadaan sesungguhnya, dokter menyarankan agar dilakukan pemeriksaan lengkap dan menasihati supaya beliau berhenti merokok. Setelah saran dokter dilakukan, ternyata dalam paru-paru beliau hanya terdapat bintik kecil yang sama sekali tidak berbahaya bagi kesehatan paru-parunya. Akhirnya, larangan meninggalkan “benda ber-nikotin” itu tidak berlaku bagi beliau.
Ketika sakit, imam salat Maghrib dan Subuh di lingkungan Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran itu sudah terlihat parah, lalu beliau dilarikan ke rumah sakit Dr. Saiful Anwar Malang setelah sebelumnya dirawat di RSI Gondanglegi.
Di tengah-tengah kondisi kesehatan kiai yang selalu berpenampilan sederhana itu kian menurun, ternyata salat lima waktu lengkap dengan wudlunya tidak pernah beliau tanggalkan kendati dalam bentuk darurat. Bahkan, menurut kesaksian keluarganya, bacaan-bacaan setelah salat layaknya beliau berposisi sebagai imam di musala tetap beliau selenggarakan walaupun keluar-masuk nafasnya terasa sangat menyiksa.
Hebatnya lagi, sebagaimana penuturan Gus Abdurrahman, putera pertama beliau, di luar salat, begitu jelas beliau membasahi bibirnya dengan “dua kalimat syahadat”. Apalagi berkeluh kesah tentang lara yang dirasakannya, berucap soal kebutuhan makan-minum pun, betul-betul bisa dihitung jari dalam setiap harinya.
Menurut cerita Ustaz Salamun, berkaitan dengan Kiai Said, Kiai Khozin Yahya pernah berpesan bahwa: “Je’ mintah duweh ke Sa’id gelluh, takok aduweh jubek. Soalah duwenah mustajeb. (Jangan minta doa ke Sa’id terlebih dahulu. Sebab doanya seringkali dikabulkan).”
Masih menurut guru MI Raudlatul Ulum Ganjaran itu, pernah suatu saat Kiai Sa’id Yahya berbicara pada salah satu santri: “Kakeh mateh. (Kamu wafat).” Tak selang beberapa lama, santri yang bernama Ali Wafa itu benar-benar meninggal di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran.
K.H. Said Yahya wafat pada tanggal 12 Maret 2018, pukul 17:22 WIB, di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang. Setelah jenazah beliau sampai di lingkungan Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran sekitar pukul 21:00 WIB, langsung dimandikan dan dikebumikan di sebelah Barat masjid Asy-Syafi’iyah Ganjaran seusai disalati.
Membaca sekilas cerita sosok yang disebut oleh Gus Muhammad Adib Mursyid, Rektor IAI Al-Qolam Gondanglegi, Malang, sebagai orang yang telah mencapai “ketercerahan spiritual” (spiritual enlightment) itu, cukup memberikan gambaran gamblang bahwa beliau merupakan pribadi yang sangat tabah menyimpan kata-kata “mengadu” di balik sakit yang sedang menimpanya. [DR]
