Tafsir Albayan, Kearifan Lokal untuk Masyarakat Milenial

tafsir-albayan-kearifan-lokal-untuk-masyarakat-milenial

JAS HIJAU – Rasa tanggung jawab yang besar sebagai pewaris keilmuan Nabi, mendorong para ulama Nusantara untuk ikut berkontribusi dalam gerakan besar memasyarakatkan nilai-nilai al-Qur’an di negeri tercinta ini dan menjadikannya sebagai rujukan utama yang tidak boleh ditinggalkan.

Salah satu ulama yang turut andil dalam khidmat mulia ini adalah K.H. Shodiq Hamzah Usman yang telah menyelesaikan salah satu karya terbaiknya yaitu Tafsir Albayan fii Ma’rifati Ma’ani al-Qur’an.

Tafsir Albayan sebagaimana diungkapkan muallif merupakan penulisan arti dan makna kata-perkata dalam al-Qur’an, yang beliau intisarikan dari berbagai tafsir Nusantara, seperti Al-Ibriz fii Ma’rifati Qur’an al-‘Aziz yang disusun oleh K.H. Bisri Mustofa Rembang, Al-Iklil fii Ma’ani Tanzil karangan K.H. Misbah Mustofa Bangilan, Al-Misbah karya Prof. Dr. K.H. Quraish Shihab, dan beberapa kitab tafsir Nusantara lainnya.

Proses penyusunan tafsir ini benar-benar membutuhkan usaha yang besar dan bacaan yang luas, karan dalam rangka menyimpulkan sebuah makna yang tepat dan akurat untuk sebuah kalimah, K.H. Shodiq Hamzah merujuk ke 30 lebih kitab tafsir yang muktabar, di antaranya adalah: Tafsir al-Munir karya Dr. Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Jalalain, Tafsir Maraghi, Shofwatut Tafasir, Durrotut Tafaasiir, al-Kassyaaf, at-Tahriir wat Tanwir, Ruuhul Maani, Tafsir Thobari, al-Muharrarul Wajiiz dan berbagai tafsir lainnya.

Kehadiran Tafsir Albayan ini menambah gaya, corak dan khazanah penulisan tafsir al-Qur’an dengan bahasa lokal yang telah dimulai sejak pertengahan abad ke-17 M, dan dipelopori oleh Syekh Abdur Rauf al-Fanshuri as-Singkili yang menulis tafsir berjudul Turjuman al-Mustafid dengan bahasa Melayu, dilanjutkan oleh Syekh Muhammad Soleh Darat as-Samarani yang menulis kitab tafsir berjudul Faidhu ar-Rahman, dengan menggunakan bahasa Jawa, yang keduanya ditulis dengan aksara huruf Arab Pegon.

Kitab tafsir ini bisa dimasukkan dalam kategori tafsir mufrodaat yang menitikberatkan pada makna kata-perkata, metode ini sangat efektif dalam memberikan pemahaman terhadap ayat Alquran, sekaligus memotivasi pembaca dalam merangkai makna untuk mendapatkan makna yang akurat, beberapa ulama besar juga menggunakan metode ini dalam menafsirkan al-Qur’an, di antaranya Raghib al-Asfihaany dalam karyanya Mufrodaat Alfaadh al-Qur’an, Imam Abdul Qahir al-Jurjani dalam karya tafsirnya Durjud Duror fii Tafsiril Aay was Suwar, dan lain-lain.

Baca juga: Raudlah al-Irfan, Tafsir al-Qur’an Bahasa Sunda


Di samping tafsir mufrodaat, tafsir Albayan bisa juga dikategorikan tafsir ijmali yang menguraikan makna secara ringkas dan global sehingga tidak membosankan untuk dibaca dan pelajari. Hal ini bisa ditemukan dalam sub judul pemahaman ayat.

Cara yang digunakan K.H. Shodiq Hamzah dalam memulai tafsirnya sangat praktis, beliau memberi pengantar pada setiap surah dengan penjelasan Makkiyah-Madaniyah-nya, jumlah ayatnya, jumlah kalimah bahkan jumlah huruf dalam satu surah, lalu menjelaskan nama surah, sebab penamaan dengan surah tersebut serta keutamaan surah. Penyebutan keutamaan surah ini tentu sangat penting dalam memotivasi masyarakat untuk senantiasa membacanya.

Setiap memulai tafsir pada penggalan ayat, K.H. Shodiq Hamzah memberikan judul sebagai tema pada sekumpulan ayat, beberapa sebab turunnya jika ditemukan, atau pun indikasi keserasiannya dengan ayat lainnya, lalu menampilkan arti kata-perkata dan terkadang arti frase berdasarkan disiplin uslub kebahasaan Jawa ala pesantren, sehingga mempermudah para pembaca dalam memahami redaksi ayat. Kitab ini juga dilengkapi beberapa detail kisah a-Qur’an (Qisshoh), keterangan tambahan (Tanbih) dan keterangan penting (Muhimmat), sehingga semakin melengkapi pemahaman yang dibutuhkan.

Secara akidah, tafsir ini bisa dikategorikan pada tafsir mazhab Asy’ari yang cenderung menakwil ayat-ayat mutasyabihat. Hal ini bisa dilihat ketika K.H. Shodiq menafsirkan frase-frase seperti yadullah (48:10) dengan kekuasaane Gusti Allah, istawa (20:5) dengan nguasani, alaa aini (20:39) dengan pengawaan ingsun, wajhullah (2:115) dengan kiblat Allah, linafsi (20:41) dengan kerono dzat/tugas ingsun dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa beliau mengikuti para imam besar tafsir al-Qur’an yang juga menakwil ayat-ayat mutasyabihat seperti at-Tsa’labi, al-Mawardi, Ibnu Athiyyah, Fahrur Rozi, al-Qurthubi, al-Baidhowi, an-Nasafi, as-Samin al-Halabi dan para mufassir lainnya yang tidak terhitung jumlahnya.

Secara fikih, tafsir bisa digolongkan pada madzhab Syafi’i, hal ini bisa dibuktikan misalnya ketika K.H. Shodiq menafsirkan tsalatsata quru’ (2:228) dengan ing telu piro-piro sucinan, laamastum (5:6) dengan ndemek sopo siro kabeh, illal muthohharun (56:79) dengan kejobo wong-wong kang suci kabeh, makna-makna ini tentu berafiliasi kepada pemahaman mazhab Syafi’i terhadap ketentuan hukum yang dihasilkannya.

Akhirnya, saya ingin menegaskan bahwa tafsir Albayan ini adalah tafsir yang penting dalam membaca perjalanan sejarah pergulatan ulama Nusantara dengan al-Qur’an, setelah sekian lama beberapa penulisan tafsir berbahasa Jawa disajikan dengan tulisan Arab Pegon dengan penyajian khas pesantren, Kiai Shodiq membuat sebuah terobosan baru dengan menampilkan terjemah bahasa Jawa dalam aksara latin dengan tetap mempertahankan tradisi khas pesantren, dengan kata lain, Kiai Shodiq tetap ingin menjaga tradisi pesantren dalam pemaknaan al-Qur’an sekaligus memperhatikan tingkat pemahaman masyarakat modern yang mulai kesulitan membaca tulisan Arab Pegon.

Baca juga: Sanad al-Qur’an dan Tafsir di Nusantara


Semoga Allah swt membalas semua jerih payah K.H. Shodiq Hamzah dalam usaha dan kerja yang mulia ini, dan menyalurkan semua pahala dari para pembaca, pengkaji dan penelaahnya kepada beliau. Aamin. [DR]


KETERANGAN:
Ditulis di Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan, Jombang pada 30 Rabiul Awal 1444 Hijriah atau 26 Oktober 2022 Masehi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *