Tentang Hukum Bedug dan Kentongan, Belajar dari Kearifan Kiai NU

tentang-hukum-bedug-dan-kentongan-belajar-dari-kearifan-pendiri-nu

JAS HIJAU – Perbedaan pendapat di kalangan Kiai NU amatlah biasa. Pada tahun 1928, terbit majalah Suara NU nomor perdana. Dalam majalah tersebut memuat tulisan Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang yang saat itu menjabat Rais Akbar NU.

Pada tulisan tersebut, Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari menulis bahwa kalau bedug itu ada dalilnya. Kiai Hasyim menganalogikan kepada duf, sejenis alat kalau pukul yang terbuat dari kulit; sebut saja rebana. Alat yang terbuat dari kulit kemudian dipukul untuk memanggil (orang untuk) salat, itu hukumnya boleh.

Seang kentongan, yang cuma kayu dan tidak ada kulitnya. Alat ini jika digunakan untuk memanggil salat, menurut Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari tidak boleh. Jadi tidak boleh pakai kentongan untuk memanggil salat.

Kemudian pada bulan berikutnya terbit lagi majalah Suara NU nomor dua. Di dalamnya ada tulisan dari K.H. Faqih Maskumambang. Beliau adalah Wakil Rais Akbar NU, wakilnya Kiai Hasyim.

Dalam edisi kedua itu, K.H. Faqih Maskumambang menulis: “Walaupun saya takzim kepada Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari, dalam soal kentongan, saya agak beda pendirian.”

Menurut K.H. Faqih Maskumambang, kentongan itu untuk memanggil salat. Jadi analoginya untuk memanggil salat itu. Kalau memanggil salat dengan bedug boleh, dianalogikan dengan kentongan juga boleh. Wajhul qiyas-nya (وجه القياس) di situ.

Begitu keluar edisi yang kedua itu, Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari pun memanggil murid-muridnya, para kiai dari Jombang dan juga santri-santri senior di Jombang.

Kemudian Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari meminta untuk membaca kedua tulisan itu, edisi pertama tulisan Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari dan edisi keduanya tulisan K.H. Faqih Maskumambang.

Lalu, Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari pun berkata: “Kalian semua sudah tahu. Saya tidak memperbolehkan kentongan. Kiai Faqih memperbolehkan. Sekarang terserah kalian.”

Baca juga: Biografi dan Sanad Keilmuan K.H. Faqih Maskumambang dalam Kitab Raudhah al-Wildan


Ya, pendapat keduanya sama kuatnya, sama-sama berlandasakan dalil. Mau memaki kentongan atau tidak, sah-sah saja.

“Cuma saya minta di masjid saya di Tebuireng ini, jangan sampai ada kentongan,” ujar Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari.

Meskipun berpolemik begitu tajam, keduanya saling menghargai dan menghormati. Pernah suatu saat, K.H. Faqih Maskumambang memerintahkan para kiai di Gresik untuk menurunkan kentongan di masjid-masjid dan langgar-langgar sebagai penghormatan kepada Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari karena beliau hendak mengisi ceramah di Pondok Pesantren Maskumambang.

Subhanallah, begitu indah cara kedua kiai tersebut menyikapi perbedaan pendapat. Sebuah kearifan dalam berpolemik, tepap saling menghargari dan menghormati. Teruntuk Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Faqih Maskumambang, lahuma al-Fatihah. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *