JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Teologi Asy’ari dalam Bangunan Peradaban Islam di Nusantara
Home » Teologi Asy’ari dalam Bangunan Peradaban Islam di Nusantara

JAS HIJAU – Di balik kecemerlangan budaya Islam di Kepulauan Melayu Nusantara, ada akidah Asy’ari sebagai pondasi besarnya. Islam dapat bertahan meski diserbu penjajahan dan invasi kaum orientalis sejak masa kolonial. Ternyata, salah satu kunci kekuatannya adalah; teologi Asy’ari mengakar menjadi salah satu unsur pandangan hidup Muslim Nusantara. Berikut ulasan singkatnya.
Di bumi Nusantara, kehadiran Islam berlangsung secara sistematis, terencana, dan tanpa kekuatan militer, dibawa oleh para ulama-alim yang memang membawa misi khusus menyebarkan Islam.
Berbeda dengan kedatangan agama Kristen pertama kali yang dibawa oleh kolonialis, khususnya dari Belanda. Para dai membawa misi kedamaian, bukan peperangan. Yang dibawa adalah ilmu, bukan senjata.
Sehingga, para dai pembawa Islam berhasil melakukan perubahan besar-besaran dan mendasar dalam jiwa penduduk bumi Nusantara. Perubahan yang bukan fisik semata-mata, tetapi peningkatan dalam jiwa dan alam fikir ini menjadi kekuatan Muslim Nusantara. Dalam hal ini Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas memberi catatan:
“Kedatangan Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia harus kita lihat sebagai mencirikan zaman baharu dalam persejarahannya, sebagai semboyan tegas membawa rasionalisme dan pengetahuan akliah serta menegaskan suatu sistem masyarakat yang berdasarkan kebebasan orang perseorang, keadilan dan kemuliaan kepribadian insan.”[1]
Kesimpulan Prof. al-Attas di atas penting untuk dijadikan dasar membaca sejarah Islam di Indonesia. Bahwa, penduduk bumi Nusantara sangat patut bersyukur dengan para ‘misionaris’ Muslim (meminjam istilah dari Prof. al-Attas) itu. Merekalah yang membawa pribumi kepada zaman baru. Era tumbuh-kembangnya semangat rasionalisme sehingga menjadi bangsa yang maju dan berkepribadian mulia.
Apa dampak yang bisa disaksikan? Tiga abad lebih dijajah kolonialis Kristen. Tetapi, Islam tetaplah kekal hingga hari ini. Memang ada penurunan kejayaan di masa penjajahan dibandingkan dengan zaman kesultanan-kesultanan Islam. Tetapi, jiwa Islam tidak pernah luntur. Hal itu disebabkan pengislaman yang berangsur-angsur di bumi Nusantara itu sampai pada level struktur pandangan alam Islam (Islamic Worldview) yang menancap dalam diri Muslim Nusantara sebagai identitasnya yang asli.
Jadi, Islam yang dibawa para ‘misionaris’ Muslim adalah Islam yang asli. Dari ulama-alim yang ahli dari Timur-Tengah. Bukan Islam ‘luaran’ yang bercampur dengan kebudayaan lain. Jika pun Islam yang dibawa para penyebar agama itu tidak asli—sebagaimana dituduhkan oleh orientalis—niscaya identitas ke-Islaman penduduk Nusantara mudah luntur, lenyap dan hilang.
Kesimpulan Prof. al-Attas yang menyatakan kedatangan Islam membawa kepada pengetahuan aqliyah ini perlu digarisbawahi. Sehingga wujud iklim tradisi keilmuan yang melahirkan filsuf, pemikir tingkat internasional dengan karya-karya yang berbobot.
Maka patut untuk dibahas, bahwa ternyata peranan teologi Ahlussunnah wal Jamaah (disingkat Aswaja) memainkan pernan dalam proses Islamisasi terutamanya dalam mengubah sistem pemikiran alam Melayu-Nusantara dari segi kefahaman tentang agama dan kehidupan. Khususnya pada fase kedua penyebaran Islam.[2]
Baca juga: Klaim dan Tindakan Tuhan dalam Teologi Asy’ariyah, Catatan Ngaji al-Iqtishad fi al-I’tiqad
Dalam hal ini para sarjana Muslim dan sejarawan menulis bahwa teologi yang berperan besar itu adalah teologi Sunni bermadzhab Asy’ariyah, mengikut Imam al-Asy’ari. Mohd Farid Mohd Shahran, seorang sarjana Malaysia, dalam artikelnya berjudul Kerangka Teologi Islam di Alam Melyau: Kekuatan dan Cabaran berpendapat:
Mazhab teologi yang mendominasi Islamisasi di alam Melayu adalah Ahlussunnah wal Jamaah aliran Asya’irah. Aliran ini pada awalnya dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan kemudiannya telah diteruskan oleh tokoh-tokoh besar seperti Abu Bakar al-Baqillani, Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Abu Hamid al-Ghazali, Fakhr al-Din al-Razi, Abu al-Fath al-Syahrastani, Abd Qahir al-Baghdadi, Abu Ishaq al-Isfarayini dan Muhammad Yusuf al-Sanusi.
Aliran ini dicirikan dengan keutamaan dalil wahyu dalam penghujahan disamping memperkukuhnya dengan kehujahan akal dan pengambilan jalan tengah antara pendekatan ultrarasional Muktazilah yang mengutamakan pandangan akal dan juga pendekatan sempit sebahagian ahli Hadis yang terlalu menenkankan pendekatan tekstual.[3]
Pelajaran yang disampaikan oleh dai Wali Songo juga mencerminkan pemikiran akidah Sunni Asy’ari. K.H. R. Abdullah bin Nuh mengatakan, kalau naskah wejangan Sunan Bonang dipelajari, maka akan ditemukan nama-nama kitab sebagai sumber pengambilan, antara lain; kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, Talkhis al-Minhaj karya Imam Nawawi, Qutul Qulub karya Abu Thalib al-Makki, Tamhid fi Bayani al-Tauhid karya Abu Syukur as-Salami, serta ajaran para ulama Asy’ariyah lainnya seperti Imam Daud al-Anthoky, Muhyiddin Ibn Arabi, Ibrahim al-Iraqi, Abdul Qadir al-Jailani dan lain-lain. (K.H. R. Abdullah bin Nuh, Ringkasan Sejarah Wali Songo). Semua karya dan ulama tersebut dalam akidah menganut mazhab Imam Asy’ari.
Dalam Babad Cirebon juga ditulis bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang penganut akidah Ahlussunnah wal Jamaah, dalam fikih mengikut Imam Syafi’i.[4]
Pertumbuhan dan penerimaan mazhab Asy’ari di bumi Nusantara, selain karena dibawa oleh para dai bermazhab Asy’ari juga dipengaruhi oleh situasi di negeri-negeri Muslim Arab. Lebih khususnya pada saat Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dan Raja-raja Mamalik Mesir mengambil alih kuasa di Mesir, menggantikan Dinasti Fatimiyah yang beraliran Syiah.
Sebagaimana dimaklumi dalam sejarah, pemerintahan Ayyubiyah maupun Kerajaan Mamalik merupakan penganut gigih Aswaja bermazhab teologi Asy’ari dan bermazhab fikih Syafi’i. Setelah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi berkuasa, selain ia mengalahkan Kristen dalam Perang Salib juga mendirikan tiga buah madrasah tinggi di Kairo dan Iskandariyah untuk menyebarkan faham Ahlussunnah yang bermazhab Syafi’i. Termasuk melanjutkan Universitas Al-Azhar Kairo yang diubah ajarannya dengan Aswaja.
Keberhasilan dan kemenangan Shalahuddin al-Ayyubi menjadikannya dikagumi Muslimin penjuru dunia. Hingga berita kemenangan umat Islam di bawah Shalahuddin al-Ayyubi sampai ke bumi Nusantara. Sebagai idola umat Islam, maka ajaran al-Ayyubi banyak dianut beberapa negeri.
Baca juga: Apakah Ada Manuskrip Karya Ulama Nusantara dalam Bidang Sains dan Ilmu Eksak?
Selain itu, muballigh Islam pada kekuasaan Ayyubiyah dan Mamalik Mesir bertebar ke seluruh penjuru dunia, hingga ke Indonesia yaitu dari Pasai di Aceh Utara, Perlak di Aceh Timur, Muar di Malaysia, Aru di Sumatera Timur, Kuntu di Riau, Ulakkan di Pantai Barat Sumatera Barat dan Jepara di Jawa Timur. Seorang ulama utusan Kerajaan Mamalik bernama Syekh Ismail as-Shiddiq datang ke Kerajaan Pasai untuk mengajarkan teologi Aswaja dan fikih Syafi’iyyah (K.H. Sirajuddin Abbas, Sejarah Keagungan Madzhab Syafi’i, hal. 258).
Selain faktor di atas, ada faktor lain yang menjadikan teologi Sunni-Asy’ari menjadi identitas Muslim Nusantara, yaitu karakter keseimbangan antara naqal (teks wahyu) dan aqal.
Dengan naqal sebagai asas dan aqal yang memperkokohkannya. Keseimbangan ini penting dalam membudayakan ilmu dalam masyarakat bumi Nusantara.
Perpaduan seimbang antara naqal dan aqal menjadikan peradaban Islam yang dibangun oleh Rasulullah saw di Madinah mampu berkembang pesat sehingga membentuk pusat-pusat peradaban dunia seperti Baghdad (Asia Barat), Cordoba di Andalusia (Eropa), Istanbul di Turki, Kairo di Afrika Utara, Delhi India, Aceh dan Demak di Indonesia, dan Malaka di Malaysia serta melahirkan banyak saintis yang pada waktu yang sama merupakan ulama-ulama yang mumpuni.[5]
Karakter mazhab Asy’ari yang tidak semata-mata berasaskan naqal saja, tetapi dengan aqal untuk menghuatkan hujjah melahirkan tradisi ilmu mantiq, falsafah, yang dengan keduanya mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan.
Sehingga lahirlah sarjana-sarjana Muslim hebat di bumi Nusantara seperti Nuruddin al-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdushomad al-Falimbangi, Raja Ali Haji, Syekh Yasin al-Fadani, Syekh Mahfudz Turmusi, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Yusuf al-Maqassari, dan sarjana-sarjana lain-lain yang bertaraf internasional.
Dengan demikian, maka pemikiran keseimbangan antara naqal dan aqal mazhab Asy’ari ini perlu dijadikan referensi untuk membangun peradaban dan kebudayaan ilmu di bumi Nusantara. Sebagaimana keberhasilan peradaban silam di Timur Tengah.
Kejumudan ilmu pengetahuan selayaknya dibangunkan lagi dengan cara membudayakan pemikiran ilmiyah ulama-ulama Asy’ariyah. Sebab, mereka tidak hanya penolong agama tetapi pembangkit ilmu pengetahuan. Maka, bersyukurlah kepada pendakwah pelopor dahulu.
Salah satu tantangan akidah saat ini yang perlu direspon serius adalah modernisme dan postmodernisme. Sumber munculnya modernisme sebetulnya buah dari gerakan sekularisasi sebagai program filsafat.[6] Sekularisasi telah menggeser sistem pemikiran Islam yang telah pakem yang berbentuk elemen-elemen worldiview Islam. Sistem pemikiran tersebut mengeser konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep Nabi, konsep alam, konsep manusia, konsep ilmu, konsep kebahagiaan, dan lain-lain. Hasilnya adalah kerusakan pemikiran akidah Islam.
Karakter utama pemikiran modernisme adalah; menghilangkan makna ruhani dari alam kejadian, membuang metafisika, menggeser dan membongkar sturktur pemikiran Islam, dan penyamarataan manusia.
Dalam pemikiran modernisme, alam ini berjalan secara natural. Tidak ada “kekuatan lain” yang menggerakkan. Segala kejadian alam ini adalah karena gerakan alam itu sendiri. Tuhan absen dalam kejadian alam. Ini merupakan maksud menghilangkan makna ruhani dalam alam. Pangkal kerusakan akidah secara serius ini dari salah paham terhadap kekuasaan Tuhan.
Baca juga: Hujjah Akidah Asy’ariyah tentang Taklif, Catatan Ngaji al-Iqtishad fi al-I’tiqad
Modernisme bertumpu kepad fisika, tidak pada metafisika. Tumpuan ini merupakan hasil dari pemikiran menghilangkan makna ruhani dalam alam. Akibat selanjutnya adalah ilmu pengetahuan itu terbatas kepada sumber rasional dan sumber inderawi.
Pendekatan aqliyyah (yang tentu saja berdiri di atas syara’) seperti yang digunakan tokoh-tokoh dan ulama Asy’ariyah merupakan cara tepat untuk mengatasi pemikiran modernisme dan postmodernisme sekarang.[7]
Maka, para tokoh yang sangat aktif mematahkan hujjah-hujjah golongan menyimpang dan menyelamatkan akidah kaum Muslim banyak sekali dari kalangan Asy’ariyah. Imam Tajuddin as-Subki menggambarkan, Imam Asy’ari itu salat berjamaah bersama kaum Muslim setelah ia “perang sengit” menghunus pedang dengan musuh-musuh. Ia merupakan pahlawan Islam.
Oleh sebab itu, mempelajari tokoh-tokoh Aswaja Asy’ari ini seyogyanya tidak hanya belajar ajaran-ajarannya saja. Tetapi—tentu lebih strategis lagi—mempelajari metodologi yang digunakan tokoh-tokoh tersebut dalam meng-istbat pemikiran akidah Aswaja dan dalam merespon tantangan pemikiran modernisme dan postmodernisme. [DR]
[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, Penjelasan Budaya Ilmu, hal. 106.
[2] Baca Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secualism, hal. 70.
[3] Mohd Farid Mohd Shahran, Akidah dan Pemikiran Islam: Isu dan Cabaran, hal. 6.
[4] Idrus Alwi al-Masyhur, Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia, hal. 163.
[5] Khalif Muammar, Kerangka Pemikiran Ahl Al-Sunnah wa al-Jamaah Peranannya dalam Penyatuan Ummah dalam Himpunan Makalah WISE 2016, hal. 90.
[6] Prof. Syed M Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam.
[7] Mohd Farid Mohd Shahran, Akidah dan Pemikiran Islam; Isu dan Cabaran.

2 Comments
[…] Baca juga: Teologi Asy’ari dalam Bangunan Peradaban Islam di Nusantara […]
[…] Baca juga: Teologi Asy’ari dalam Bangunan Peradaban Islam di Nusantara […]