JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Tiga Jenis Penerus Perjuangan Gus Dur
Home » Tiga Jenis Penerus Perjuangan Gus Dur

JAS HIJAU – Pada saat ini, sebagian dari mereka yang terilhami dan merasa tetap meneruskan perjuangan Gus Dur ada dalam tiga jenis.
Pasca Gus Dur
Sebagian ada yang menginginkan pasca Gus Dur, yang sebenarnya adalah berorientasi pada tendensi kuat dari tradisi pengetahuan yang dimilikinya sendiri, yang diadopsi dari pemilihan dan anutan ilmu sosial tertentu yang telah dipelajari, misalnya dari sudut kiri. Di katakannya, Gus Dur ada di zamannya, dan pada saat ini zamannya sudah berubah.
Apa yang menjadi pemikiran Gus Dur harus diolah kembali, didedahulang, dan dipertajam kembali. Mereka tidak menginginkan dan merasa, kerugian besar adanya pembakuan terhadap nilai-nilai Gus Dur, apalagi pendakuan terhadap pewarisan perjuangan Gus Dur.
Jumlah kelompok ini tidak besar, sehingga secara langsung tidak berani memakai dan menggerus pemikiran Gus Dur sebagai usang, dan tidak kontekstual lagi. Mereka ini, cocok bagi para pencari, karena tidak memiliki tanggung jawab komunitas secara langsung, kecuali imajinasi membangun masa depan, tetapi sebenarnya posisinya ada di pinggiran. Yang dipikirkan adalah ke depan dan ke depan, yang tidak merasa penting menoleh ke belakang.
Mereka membentuk irisan tersendiri dan kadang menyebut “kami melakukan kerja-kerja sebagaimana dilakukan Gus Dur” tanpa harus disebut sebagai pendaku penerus perjuangan Gus Dur; pada saat yang sama mereka tidak lagi tertarik dengan komunitas di mana Gus Dur dulu berjuang, sehingga tercecer secara kultural saja; dan di sisi lain mereka menggunakan tradisi ilmu dan cara pandang yang dimilikinya, untuk melakukan kerja-kerja yang disebut kerja-kerja Gus Dur.
Di antara mereka ini, adalah anak-anak yang pernah lahir dari rahim pesantren. Mereka menetapkan titik berangkat perjuangan bukan lagi dari komunitas di mana Gus Dur berasal, tetapi berasal dari imajinasi dan pikiran yang selalu mengharapkan kemajuan, tanpa mau menoleh ke belakang bersama komunitas yang dibangun Gus Dur, meskipun mereka dari pesantren. Soal apakah dimensi dan pola seperti ini baik, saya memiliki banyak kritik dan tidak perlu saya uraikan di bagian ini.
Organisasi dengan Nama Gus Dur
Mereka ini marasa berhak mewarisi perjuangan dan pemikiran Gus Dur, dan memakai nama yang mengekslusi siapa pun yang menghubungkan dengan Gus Dur. Tujuan awalnya adalah baik, untuk menghindari penggunaan nama Gus Dur bagi petualang yang menerobos lembah kebusukan di belantara sosial dan politik; dan untuk mengonsolidasikan gerakan masyarakat yang tetap menghidupkan perjuangan Gus Dur.
Gerakan ini mengandaikan adanya pembakuan dan kanonisasi, yang hal ini telah dilakukan. Akan tetapi kanonisasi ini kemudian mengarah pada penumpulan gerakan yang melepaskan spiritualitas Gus Dur, karena orientasinya ingin memperluas cakupan jumlah kader, tetapi sebenarnya adalah memperdangkal gerakan.
Pola yang ditempuh, sebagaimana pola yang mirip dengan Fordem (atau gerakan masyarakat sipil lain), tetapi juga bukan sebagaimana Fordem. Mirip pola Fordem, karena maunya mengorganisir dan merekrut sedapat mungkin dari berbagai aliran sebagaimana Fordem. Tetapi tidak seperti Fordem, karena Fordem membicarakan aspek-aspek perjuangan bersama demokrasi di Indonesia, yang masing-masing orang bisa berangkat dari asal usul dan tradisi masing-masing.
Nah, mereka dari jenis kedua ini, berbeda dari jenis tradisi yang dibangun Gus Dur ketika ia membangun Fordem atau sejenis gerakan masyarakat sipil. Karenanya, mereka dari jenis kedua ini tidak mampu menancapkan aspek-aspek terdalam dari pendasaran perjuangan Gus Dur, tentang Islam Nusantara, tauhid, suluk, Islam tradisi, dan lain-lain; tetapi pada saat yang sama mengalami penumpulan.
Tujuan mendidik kader yang akan menjadi Gus Dur-Gu Dur baru semakin tidak fokus, karena harus berkompromi dengan kenyataan, luasnya asal usul para kader yang dididik, yang di masing-masing komunitas mereka memiliki kepentingan dan loyalitas terhadap komunitas mereka sendiri. Laksana sebuah EO seminar yang tema seminarnya adalah pemikiran Gus Dur, mengulang-ulang. Tapi bagi kaum minimalis, fenomena ini dilihat sebagai tidak apa-apa, daripada tidak sama sekali.
Padahal perlu diingat, bahwa peserta pelatihan di mana organisasi ini melakukan kelas-kelas pemikiran, bukan untuk seminar, tetapi mendidik kader. Lama kelamaan, akan semakin tercipta lapisan kader yang berjarak dari dimensi dalam dan nilai-nilai yang sebenarnya mendasari Gus Dur, terutama aspek tauhid dan spiritualitas Aswaja. Mereka hanya akan meraup pemikiran Gus Dur, bukan mencerap nilai-nilai dan perjalanan untuk menjadi Gus Dur.
Memang ada ketakutan, secara ndakik-ndakik, akan terdapat tuduhan terjadi penyempitan, yang sejatinya justru penajaman dan pendasaran yang lebih kokoh untuk melahirkan Gus Dur-Gus Dur baru, meskipun tidak sekaliber Gus Dur sebenarnya.
Ketakutan ini akan melanda para pewaris gerakan yang sudah terlanjur meyakini bahwa dengan jalan mirip Fordem tetapi juga tidak sama dengan Fordem, yang paling sah memaknai dan meneruskan perjuangan Gus Dur. Yang sebenarnya adalah kefatalan dalam memaknai, apa artinya sahabat Gus Dur, dan apa makna perjuangan bersama dalam konteks Indonesia; dan apa kontestasi yang telah dan tengah terjadi sesungguhnya di dalam republik ini.
Yang lebih parah adalah, konsekuensi dari kenyataan bahwa pelepasan Gus Dur dari aspek-aspek terdalam hubungan Gus Dur dengan NU dan Aswaja an-Nahdliyah, akan menjadikan kader-kader yang dididik, sebagai kader yang telah dianggap dan merasa memahami Gus Dur. Akan tetapi justru di mana-mana akan melawan dan mengkritik komunitas di mana Gus Dur melakukan transformasi tradisi, tanpa mau membangun dan mengubahnya.
Di sisi lain, ada banyak orang di komunitas di mana Gus Dur berasal, yang nantinya melihat organisasi yang menyelenggarakan kelas-kelas pemikiran Gus Dur ini, telah melakukan pengkhianatan terhadap Gus Dur sendiri, karena memotong aspek terdalam dari rangkain perjuangan Gus Dur tentang masyarakat, negara, dan manusia, yaitu NU dan Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah.
Dalam jangka panjang, kader-kader itu malah akan bisa memusuhi komunitas mereka masing-masing, bukan berusaha membangun dan mentransformasikannya. Sementara yang telah sadar, dan menganggap kader-kader yang dididik di situ sebenarnya hanyalah sebuah tempat mengasah, mereka memperoleh berbagai alat dan pengetahuan yang akan digunakan untuk memengaruhi komunitas mereka masing-masing.
Manakala nantinya mereka sadar bahwa di Indonesia ini sebenarnya adalah kompetisi dan pertarungan, mereka mengetahui apa dan seberapa kuat dapur dari komunitas di mana Gus Dur dibesarkan. Memang semuanya tergantung pilihan-pilihan dan tujuan-tujuannya. Hanya saja, pada saat sekarang ini, kohesi gerakan semacam ini semakin menurun, dan trennya orang kembali ke komunitas, meskipun usaha-usaha bersama memikirkan dan membangun Indonesia mutlak diperlukan.
Kerja-kerja Gus Dur
Mereka adalah yang tidak mau mengikuti jalan pasca Gus Dur, tetapi sangat tidak nyaman dengan pola pembakuan dan kanonisasi, jumlahnya jauh lebih besar, tetapi tercecer di mana-mana. Mereka menjadikan Gus Dur sebagai inspirasi bagi sebagian kerja-kerja mereka, baik di dunia akademik, pergerakan masyarakat, atau pun di dunia politik kebudayaan.
Mereka ini utamanya adalah anak-anak NU yang tidak masuk di organisasi yang mendaku paling mewarisi perjuangan Gus Dur. Pada umumnya mereka tersebar di berbagai tempat dan organisasi sayap di mana komunitas Gus Dur dulu dibangun, yaitu NU.
Jenis, pola pengetahuan, dan cara-cara kerja mereka beragam, seiring dengan keragaman dan kemampuan mereka menghubungkan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur. Pada umumnya mereka bekerja dengan titik berangkat dari komunitas NU, tetapi cara dan kerja-kerja yang dilakukan berperspektif Gus Dur. Di dalam wacana sosial dan pertarungan sosial, jenis ketiga ini dalam beberapa hal tidak memiliki titik temu dengan jenis kedua, dalam soal perbedaan titik berangkat ini, terkecuali bagi mereka yang bisa menyambungkannya, dan mencari titik temunya.
Dalam praksis, akan mempengaruhi aspek-aspek ketika membela dan membangun gagasan tertentu, cara mengoposisikannya, dan cara beraliansinya. Kasus di Yogyakarta menjadi salah satu contoh bagaimana benturan dan perbedaan ini terjadi.
Dalam jangka panjang, bahkan mungkin bisa berbenturan, bila organisasi yang mendidik kader-kader dalam kelas-kelas pemikiran Gus Dur itu mengasumsikan sebagai titik berangkat dari proyek membangun komunitas masyarakat, negara, dan manusia, yang berarti membangun sebuah Ormas atau sebuah NGO, yang berbeda dengan pola Fordem dan masyarakat gerakan masyarakat sipil lain.
Karenanya, dalam menanggapi sesuatu bisa sangat berbeda dengan organisasi komunitas di mana Gus Dur dulu membesarkannya, yaitu NU. Tetapi semuanya sah-sah saja, kalau menggunakan ukuran demokrasi, tetapi yang perlu diingat Gus Dur tidak selalu memakai ukuran demokrasi untuk semua hal, karena nilai-nilai yang mendasarinya adalah tauhid.
Lalu, Bagaimana? Silakan baca lanjutan tulisan berikut ini Menautkan dan Memilah Tiga Jenis Penerus Perjuangan Gus Dur untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang refleksi bagi penerus perjuangan Gus Dur. [DR]

One comment
[…] Baca juga: Tiga Jenis Penerus Perjuangan Gus Dur […]