JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Kala Tiga Serangkai Kiai NU Kediri Menyikapi Perbedaan Rokok dengan Tawa
Home » Kala Tiga Serangkai Kiai NU Kediri Menyikapi Perbedaan Rokok dengan Tawa

JAS HIJAU – Tak lama setelah NU resmi lahir 31 Januari 1926, tak mau ketinggalan, Kota Kediri pun segera membentuk kepengurusan NU di tingkat Cabang (Kabupaten), dan secara aklamasi, K.H. Ma’ruf Kedonglo (yang dikenal sebagai waliyullah Kediri) terpilih sebagai sebagai Rais Syuriah PCNU Kediri, sedangkan Mbah Manap nama asli dari K.H. Abdul Karim Lirboyo menjadi Ketua Tanfidziyah PCNU Kediri dan K.H. Abu Bakar Bandar Kidul sebagai Katib Syuriah NU Kota Kediri (waktu itu, kota dan kabupaten menjadi satu).
Usia beliau-beliau waktu itu sudah memasuki usia renta di atas 70 tahunan. Unik juga kalau kita membayangkan ulama-ulama sepuh sekaliber beliau menjadi pengurus harian Cabang NU. Tetapi itu juga cukup menggambarkan betapa luar biasanya NU di awal-awal kelahiranya. Benar-benar sebuah kebangkitan para ulama.
Ketiga Kiai Nusantara ini ke mana-mana selalu runtang-runtung bersama-sama, ibarat tiga serangkai. Tetapi dalam urusan rokok, mereka sangat berbeda. Kiai Ma’ruf dikenal sebagai perokok berat, Kiai Abdul Karim tidak merokok sama sekali, sedangkan Kiai Abu Bakar sesekali terlihat merokok juga (jarang).
Suatu saat, melihat Kiai Ma’ruf merokok tanpa henti, Kiai Abdul Karim mencoba “gojloki” dalam bahasa Jawa Timur-an (menggoda): “Kang, iku lambe opo pawonan to? (Mas, itu mulut apa tungku api?).”
Baca juga: Adab Sebelum Minum Kopi
Kiai Ma’ruf segera menyahuti candaan teman karibnya ini: “Yo iki, Kang, bedane antarane menungso karo wedus; lek menungso yo ngrokok, lek wedus yo ora ngrokok. (Ya ini, Mas, bedanya antara manusia dan kambing; kalau manusia ya merokok, kalau kambing ya tidak merokok).”
Maksudnya kalau punya jenggot tapi merokok itu manusia, kalau punya jenggot tidak merokok itu kambing.
Sementara Kiai Abu Bakar hanya diam saja melihat kedua sahabatnya ini bercanda, sambil meneruskan bacaan salawat yang menjadi kebiasannya.
Di lain kesempatan, Kiai Abdul Karim pernah bercanda: “Wong nok kadung nyekik udud, sok nang kuburan ora nemu udud, bakale ngemut dzakare dewe. (Orang yang sudah kecanduan rokok, saat di kuburan nanti tidak menemukan rokok yang bisa dihisap, maka dia akan menghisap kemaluannya sendiri).”
Namun unik juga, kedua menantu K.H. Abdul Karim, yaitu K.H. Marzuki Dahlan dan K.H. Mahrus Ali justru mengikuti jejak K.H. Ma’ruf Kedunglo menjadi NU GR (Garis Rokok) alias ahli hisap.
Kendati beliau-beliau berbeda dalam urusan rokok, tetapi mereka sepakat dalam hal minum kopi. [DR]
Tulisan ini bersumber dari akun Facebook HIMASAL Lirboyo, persahabatan tiga kiai dan perbedaannya tentang rokok ini juga pernah diceritakan langusng oleh K.H. Anwar Manshur Lirboyo bersama K.H. Zainuddin Djazuli dan K.H. Nurul Huda Djazuli, video beliau bertiga ger geran bisa ditonton di Guyonan Kiai Sepuh Lirboyo dan Ploso Soal Rokok

2 Comments
[…] ketika Pak Naib kedatangan Kiai Ma’ruf Kedunglo. “Pundi Mas’ud?”, tanya Kiai Ma’ruf mengawali pembicaraan dengan bahasa Jawa yang halus […]
[…] ketika Pak Naib kedatangan Kiai Ma’ruf Kedunglo. “Pundi Mas’ud?”, tanya Kiai Ma’ruf mengawali pembicaraan dengan bahasa Jawa yang halus […]