JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Tradisi Baca Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jailani di Nusantara
Home » Tradisi Baca Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jailani di Nusantara

JAS HIJAU – Kebiasaan masyarakat Muslim Nusantara seringkali tiap ada hajat mereka tabarrukan dengan membaca kitab Manaqib Kanjeng Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Manaqib yang dibaca seringnya adalah Manaqib al-Lujain ad-Dani karya Sayyid Ja’far al-Barzanji yang juga pengarang Maulid al-Barzanji.
Banyak ulama Nusantara yang mempunyai perhatian khusus terhadap kitab ini. Sebut saja di antaranya adalah K.H. Muhammad Utsman al-Ishaqi (w. 1984 M) dan putera-putera beliau seperti K.H. Asrori al-Ishaqi (w. 2009 M) dengan Al-Khidmahnya yang telah berhasil membumikan Manaqib ini di Indonesia.
Ulama Nusantara lain yang juga khidmat kepada kitab al-Lujain ad-Dani:
- Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1897 M/1314 H) yang menulis syarah atau taqrirat atas al-Lujain ad-Dani. Beliau tidak memberi nama syarah ini.
- Kiai Mustamir bin Nur Salim Klaling, Kudus (w. 1961 M) yang menulis kitab Lubab al-Ma’ani fi Tarjamah al-Lujain ad-Dani.
- K.H. Muslih Mranggen (w. 1981 M) dengan kitab an-Nur al-Burhani yang menterjemahkan al-Lujain ad-Dani.
- K.H. Shiddiq Piji, Kudus (w. 2010 M) dengan kitab Nail al-Amani yang men-syarahi al-Lujain ad-Dani.
Setahu saya hingga sekarang kitab Nail al-Amani ini adalah syarah al-Lujain ad-Dani terbesar dan terluas yang pernah ditulis oleh ulama Nusantara.
Jauh sebelum mereka, ternyata ada ulama asal Kudus yang berkomentar tentang al-Lujain ad-Dani fi Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Komentar ini terdapat dalam cover manuskrip al-Lujain ad-Dani yang dugaan kuat disalin oleh Kiai Abdurrahman bin Abdus Salam Bungah, Gresik. Kiai Abdurrahman merupakan menantu K.H. Sholeh Tsani, pengasuh Pondok Pesantren Bungah, Gresik.
Dalam catatan itu disebutkan: “Saking waridipun guru kang sanget alim ash-shalih Kiai Raden Muhammad Sholeh Kudus: Puniko Manaqib dipun wahos malam Jum’at kempalan konco agung. Nalikone gadahi manah kasusahan insya Allah pinaringan kabuka berkate Sayyidi asy-Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Selametane sak kuwasane. Menewi belih ayam langkung utami kados kang sampun kalampah poro ikhwan mukminin.”
Artinya: “Dari warid-nya guru yang sangat alim dan saleh, Kiai Raden Muhammad Sholeh Kudus: Ini Manaqib dibaca malam Jumat, berkumpul dengan teman-teman mulia. Ketika memiliki hati yang susah, Insyaallah bakal dibukakan hatinya berkah Sayyidi Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Selametan semampunya. Tapi jika menyembelih ayam, maka lebih utama sebagaimana yang telah dijalankan oleh ikhwan mukminin.”
Dari catatan ini kita bisa menyimpulkan, selain tradisi membaca Manaqib Syekh Abdul Qadir, selametan dengan ayam saat manaqiban ternyata sudah ada di Nusantara sejak beabad-abad lalu.
Lalu, siapakah Kiai Raden Muhammad Sholeh Kudus dalam catatan di atas?
Sejauh penelitian dan analisa saya dengan berbagai qarinah, beliau adalah K.H. R. Muhammad Sholeh bin K.H. R. Asnawi Sepuh Damaran, Kudus; guru dari K.H. Sholeh Darat, Semarang dan juga mbah buyut dari K.H. Ahmad Sahal Mahfudz Kajen, K.H. Said Aqil Siraj, K.H. Abdul Qayyum Lasem, Gus Baha Narukan dan juga mbah buyut al-Faqir.
Soal kapan K.H. R. Muhammad Sholeh Damaran lahir dan wafat, saya masih belum mendapatkan data lebih. Hanya saja, dalam kitab al-Mursyid al-Wajiz, K.H. Sholeh Darat, Semarang menyebut guru-guru beliau (K.H. Sholeh Darat) sebelum berangkat ke Makkah, saat di Makkah dan setelah pulang dari Makkah. Salah satu guru beliau sebelum berangkat ke Makkah adalah K.H. R. Sholeh Damaran, Kudus.
K.H. Sholeh Darat menyebut: “Nuli ingsun ngaji Tafsir al-Jalalain lil ‘Allamah as-Suyuthi wal Mahalli mareng Syaikhona al-‘Allamah az-Zahid Kyai Raden Haji Muhammad Sholeh bin Asnawi Kudus. Wahu kyai ngaji sangking Kyai Muhammad Nur al-Madzkur lan sangking ramane, Kiai Haji Asnawi.”
Artinya: “Kemudian saya belajar Tafsir al-Jalalain karya Allamah as-Suyuthi dan al-Mahalli kepada Syaikhona al-‘Allamah yang zuhud, Kiai Raden Haji Muhammad Sholeh bin Asnawi Kudus. Kiai tersebut belajar dari Kiai Muhammad Nur (Sepaton, Semarang) yang telah disebutkan (sebelumnya) dan dari abahnya, K.H. Asnawi (Sepuh).”
Menurut Mas Ikhwan, sekretaris Kopisoda (Komunitas Pecinta K.H. Sholeh Darat), K.H. Sholeh Darat berangkat ke Makkah disaat usia 15-20 tahunan. Sedangkan tahun lahir beliau yang masyhur adalah 1820 M. Maka beliau berangkat ke Makkah kisaran tahun 1835-1840-an.
Menurut Ustaz Amirul Ulum, penulis buku K.H. Muhammad Sholeh Darat As-Samarani Mahaguru Ulama Nusantara, beliau lahir kisaran tahun 1813-an, seumuran dengan Syekh Nawawi Banten. K.H. Sholeh Darat berangkat ngaji ke Makkah sekitar tahun 1830-an seusai Perang Jawa.
Baca juga: Catatan Kecil tentang Nasab Ba’alawi, Wali Songo dan Akhlak Mujadalah
Artinya, K.H. Sholeh Darat ngaji ke K.H. Sholeh Damaran sebelum tahun 1840-an atau bahkan sebelum tahun 1830-an.
FYI, pada sekitar tahun 1830-an itu pula kakek Kiai Abdurrahman Bungah, Gresik, yaitu Kiai Madyani, mendapatkan ijazah Thariqah Sammaniyyah dari paman K.H. Sholeh Damaran yang bernama K.H. Murtadlo Kajen. Kiai Murtadlo adalah adik dari K.H. R. Asnawi Sepuh, abah K.H. Sholeh Damaran. Ijazah tertulis tanggal 15 Sya’ban tahun 1247 H yang bertepatan dengan bulan Januari 1832 M. Ijazah ini ditulis oleh K.H. Murtadlo Kajen sendiri. [DR]

2 Comments
[…] Baca juga: Tradisi Baca Manaqib Syekh Abdul Qodir Jailani di Nusantara […]
[…] Baca juga: Tradisi Baca Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jailani di Nusantara […]