JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Trivia Biografi Penulis Nazam Hidayah al-Adzkiya’
Home » Trivia Biografi Penulis Nazam Hidayah al-Adzkiya’

JAS HIJAU – Saat menulis biografi penulis nazam Hidayah al-Adzkiya’ ila Shirath al-Awliya’, Syekh Zain al-Dîn al-Malîbârî, terdapat beberapa informasi cukup menarik. Informasi-informasi itu tidak bisa dimasukkan dalam biografi yang saya tulis, karena sifatnya hanya informasi sampingan dan kurang relevan diikutsertakan dalam biografinya itu.
Jadi ketimbang informasi-informasi itu tidak tertulis, mending diterbitkan di sini saja. Informasi-informasi itu saya tulis dalam poin-poin saja, sabab topiknya bermacam-macam. Jadi ini adalah semacam tulisan trivia, gitu.
PERTAMA
Syekh Zain al-Din kadang dibingungkan dengan cucunya yang bernama serupa. Meski sama-sama penulis kitab terkenal di Indonesia, tapi keduanya berbeda. Si Kakek adalah penulis nazam Hidayah al-Adzkiya’, sedangkan Si Cucu adalah penulis kitab Fath al-Mu’în.
Nama lengkap Si Kakek adalah Zain al-Dîn ibn ‘Alî ibn Ahmad al-Malîbârî, sedangkan Si Cucu adalah Zain al-Dîn ibn ‘Abd al-‘Azîz ibn Zain al-Dîn al-Malîbârî. Jadi keduanya bernama Zain al-Dîn al-Malîbârî, itulah penyebab munculnya kebingungan dan keliru identifikasi.
Hanya saja, sebagian penulis biografi kadang membuat penanda agar keduanya berbeda. Si Kakek kadang disebut Zain al-Dîn al-Kabîr, sedang Si Cucu disebut Zain al-Dîn al-Shaghîr.
Namun ada perbedaan pandangan mengenai siapa sebenarnya ayah dari Zain al-Dîn al-Shaghîr. Pandangan umum mengatakan bahwa Zain al-Dîn al-Shaghîr adalah putra dari ‘Abd al-‘Azîz ibn Zain al-Dîn al-Kabîr. Ini misalnya disebutkan dalam kitab I’ânah al-Thâlibîn dan Nihâyah al-Zain, juga dalam kitab-kitab tarâjim semacam Al-A‘lâm.
Pandangan lain mengatatakan bahwa ayah Zain al-Dîn al-Shaghîr adalah putera Zain al-Dîn al-Kabîr yang lain bernama Muhammad al-Ghazâlî ibn Zain al-Dîn al-Kabîr. Bukti yang diajukan oleh pandangan kedua ini adalah kitab karangan Zain al-Dîn al-Shaghîr sendiri, berjudul Al-Ajwibah al-‘Ajîbah ‘an al-As’ilah al-Gharîbah. Di situ ditulisnya sendiri bahwa dia adalah anaknya Muhammad al-Ghazâlî, bukan anaknya ‘Abd al-‘Azîz.
Pandangan kedua ini justru saya temukan melalui sebuah grup di aplikasi Telegram bernama “Âtsâr ‘Ulamâ’ Malîbâr al-Hindî”. Jalan penemuan yang aneh.
KEDUA
Nazam Hidâyah al-Adzkiyâ’ kemudian di-syarah oleh putera penulisnya, yaitu ‘Abd al-‘Azîz. Tidak tanggung-tanggung, dia menulis syarah dua kali. Pertama, sebuah syarah ringkas berjudul Irsyad al-Alibbâ’ ilâ Hidâyah al-Adzkiyâ’. Kedua, sebuah syarah lebih detail berjudul Maslak al-Atqiyâ’ wa Manhaj al-Ashfiyâ’ Syarh Hidâyah al-Adzkiyâ’ ilâ Tharîq al-Awliyâ’.
Belakangan muncul lagi syarah yang dibuat oleh Syekh Abû Bakr ibn Muhammad Syathâ al-Dimyâthî, berjudul Kifâyah al-Atqiyâ’ wa Manhâj al-Ashfiyâ’. Lalu muncul pula sebuah syarah oleh Syekh Muhammad ibn ‘Umar al-Nawawî al-Jâwî, berjudul Salâlim al-Fudlalâ’ li Khâtimah al-Nubalâ’ ‘alâ Mandzûmah Hidâyah al-Adzkiyâ’ ilâ Tharîq al-Ashfiyâ’.
Terakhir, adalah syarah yang ditulis oleh alm. Kiai Zainullah Bukhari Ganjaran, berjudul Qurrah al-Ashfiyâ’ bisyarh Hidâyah al-Adzkiyâ’. Kitab syarah terakhir inilah yang kini sedang saya teliti.
Itu semua adalah kitab-kitab syarah sejauh yang saya ketahui. Selebihnya mungkin masih ada syarah lainnya.
KETIGA
Syekh Zain al-Dîn al-Malîbârî, penulis nazam Hidâyah al-Adzkiyâ’, dinisbatkan dengan Al-Funânî, artinya tinggal dan meninggal di Ponnani, sebuah desa di pesisir pantai India bagian barat daya. Ponnani ini adalah sebuah desa masyaallah.
Ponnani dalam peta India Modern berlokasi di Distrik Malappuram, Negara Bagian Kerala. Melalui Google Map bisa dilihat bahwa Ponnani berlokasi tepat di bibir pantai.
Pada permulaan abad ke-15, yakni masa-masa Syekh Zain al-Dîn al-Malîbârî hidup, Ponnani hanyalah sebuah perkampungan yang belum menjadi daerah pelabuhan perdagangan.
Waktu itu, pelabuhan besar terdekat berada di Kalikut, sebuah daerah yang menurut Google Map berlokasi hanya 2 jam perjalanan dengan mobil dari Ponnani. Namun pada abad ke-16, Ponnani lantas menjadi pelabuhan besar yang ramai pedagang.
Menurut Sebastian R. Prange dalam bukunya, Monsoon Islam: Trade and Faith on the Medieval Malabar Coast, kapal-kapal pedagang berdatangan ke Malabar dari berbagai negara hingga dari Arab dan dari Cina. Pelabuhan seramai itu tentu juga akan dikunjungi oleh para pedagang dari Nusantara. Dan beberapa laporan sejarah memang mengatakan bahwa Malabar punya kontak dagang dengan beberapa daerah di Nusantara.
KEEMPAT
Berkat Syekh Zain al-Dîn al-Malîbârî al-Kabîr, Ponnani menjelma menjadi pusat pendidikan ilmu-ilmu ke-Islam-an. Itu bermula ketika Syekh Zain al-Dîn al-Malîbârî mendirikan masjid. Masjid itu masih berdiri hingga kini dan dikenal sebagai Valliya Jum’ah Palli (Masjid Jami’ Agung) atau Masjid Makhdûm atau dikenal pula sebagai Masjid Ponnani. Itu berarti masjid ini sudah berdiri sejak 600 tahun lalu. Itu keren sekali!
Masjid ini oleh Syekh Zain al-Dîn al-Malîbârî dijadikan sebagai pusat pendidikan ke-Islam-an. Kemasyhuran pusat pendidikan ini menyebar ke mana, tidak hanya di India semata, namun hingga ke berbagai negara lain.
Karena muridnya amat banyak dan berasal dari daerah-daerah jauh, maka disediakan asrama untuk tempat tinggal mereka. Sebagian gedung asrama itu masih terlihat hingga kini di samping Masjid Ponnani.
Fenomena di atas mengingatkan kita akan sejarah berdirinya pesantren di Nusantara, bukan? Polanya bisa dibilang sangat mirip.
KELIMA
Selain berperan sebagai ulama, Syekh Zain al-Dîn al-Malîbârî juga berperan sebagai mursyid tarekat di Ponnani. Tarekat yang diikuti olehnya adalah Tarekat Chisytiyah. Dia berbaiat dari Syaikh Quthb al-Dîn ibn Farîd al-Dîn yang berasal dari Ajodhan, Punjab, dan mendapat ijazah untuk membimbing umat secara rohani.
Keluarga Syekh Zain al-Dîn al-Malîbârî, yakni keluarga Makhdûm, memang merupakan ulama-ulama yang juga berbaiat pada tarekat sufi. Sebelumnya, keluarga Makhdûm mengikut tarekat Suhrawardiyah atau Qadiriyah. Sejak Syaikh Zain al-Dîn al-Malîbârî, keluarga ini mengikuti tarekat Chisytiyah. Dr. V. Kunhali dalam bukunya, Sufism in Kerala, melaporkan hal ini dengan cukup rinci.
Dalam pandangan pesantren, ketiga tarekat yang disebut di atas tergolong ke dalam tarekat mu’tabarah. Dan hal itu semakin menggemakan kembali tradisi pesantren di Ponnani.
KEENAM
Penduduk Malabar hingga kini menggunakan bahasa Malayalam. Hingga kini bahasa ini tetap digunakan di Negara Bagian Kerala. Bahasa ini punya aksara sendiri yang berbeda dengan aksara Urdu.
Oleh karena masyarakat Malabar banyak yang memeluk Islam, berkembanglah sebuah aksara Malayalam yang menggunakan bahasa Arab, biasanya disebut aksara Arabi Malayalam. Kurang lebih mirip dengan aksara Pego atau Aksara Jawi di Nusantara.
Sejarawan mengatakan bahwa asal-usul aksara ini adalah Ponnani. Jadi bisa disimpulkan bahwa pusat pendidikan keislaman di Ponnani, yakni pusat pendidikan yang diampu oleh Syekh Zain al-Dîn al-Malîbârî dan keturunannya, adalah pengguna awal dari aksara ini.
Dalam komunitas Muslim di Kerala, aksara Arabi Malayalam masih tetap dikenal hingga kini.
Hal ini memunculkan kesan bahwa tradisi pesatren tidak bisa pula dilepaskan dari aksara Pego atau aksara Jawi. [DR]
