Wasitah; Ibu yang Gagal Menjadi Santri, Tapi Sukses Menjadi Ibu yang Mencetak Santri

Wasitah; Ibu yang Gagal Menjadi Santri, Tapi Sukses Menjadi Ibu yang Mencetak Santri

JAS HIJAU – Beliau bernama Ibu Wasitah, seorang penjual tempe yang bersuamikan petani. Terlahir dari keluarga sederhana, bahkan mungkin bisa dibilang pra sejahtera.

Masa kecil beliau sering dihabiskan untuk membantu orang tua di sawah dan kebun. Padahal tergolong anak yang cerdas, tapi kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan untuk sekolah, cuma sampai SR (setingkat SD).

Beliau punya keinginan untuk mondok, tapi tidak mendapat izin dari orang tua, karena faktor biaya. Ketika hendak menikah juga berharap dipersunting oleh santri, tapi ternyata tidak tercapai keinginannya, beliau dilamar oleh seorang petani biasa.

Keinginan itu tetap membara, yang kemudian beliau pupuk setiap hari dengan doa:

اللهم احينا بحياة العلماء وامتنا بموت الشهداء

“Ya Allah, hidupkanlah aku dengan kehidupannya ulama, dan matikanlah aku dengan kematiannya syuhada.”

Bukan karena ekonomi dan keuangan yang berlebih, tapi semangat beliau yang gigih. Sering makan seadanya yang penting kebutuhan anaknya di pondok tercukupi.

Berkat pertolongan Allah dan kegigihan beliau dalam berdoa, putera-puterinya mondok semua, tanpa paksaan. Bahkan 5 anaknya mondok di tempat yang berbeda, ada yang di Cilacap, Banyumas, Banyuwangi, Magelang dan Kediri. Bisa dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan setiap bulan.

Ketika krisis moneter melanda negeri ini, ekonomi keluarga benar-benar terpuruk, apalagi bapak sakit diabetes. Tulang punggung keluarga diambil alih, beliau merawat bapak sekaligus mencari nafkah untuk nyangoni anak-anaknya di pondok.

Baca juga: Nyai Lilik Suyati, Perubahan Seorang Gadis Kota


Beberapa anaknya menawarkan diri untuk pulang dan membantu ibu di rumah, tapi beliau menolak dengan tegas. Bahkan terlihat marah. Selama ilmu gurumu belum habis, jangan terburu pulang. “Urusan sangumu (bekalmu) itu dari Allah, ibu hanya perantara.” Kalimat itu yang sering beliau sampaikan.

Perjalanan selanjutnya semakin tidak mudah, karena kondisi fisik beliau juga semakin lemah. Dengan tekad yang dikuatkan, anak-anaknya bertahan di pondok, meskipun harus ikut “ndalem” untuk meringankan biaya.

Kini perjuangan beliau membuahkan hasil. Anak-anaknya telah menjadi orang yang dihormati, bahkan 3 di antaranya menjadi pengasuh pondok pesantren dengan ratusan santri.

Beliau memang gagal menjadi santri, tapi sukses menjadi ibu yang mencetak santri. Kegagalannya di masa kecil menjadi pecut untuk perbaikan di hari tuanya.

Kalimat sakti dari beliau yang membuatku sering mrebes mili: “Aku wong bodho, ora bisa ngaji. Ojo sampe anak-anakku dadi bodho kayak aku. Anakku kudu iso ngaji. (Aku orang bodoh, tidak bisa ngaji. Jangan Sampai anak-anakku jadi bodoh seperti aku. Anakku harus bisa ngaji).”

Engkau memang tidak pernah mondok, tapi engkaulah santri sejati. Masyaallah kini putera-puteri beliau menjadi orang orang yang luar biasa.

Baca juga: Menengok Kerudung di Muhammadiyah


Puteri pertama bernama Umi Nafiah (almarhumah), menikah dengan Kiai Toifur dan mendirikan Pondok Pesantren Darussalam di Bantarsari, Cilacap. Putera kedua Mukhlisin Chasbullah, menjadi pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Huda Tinggarjaya, Banyumas.

Putera ketiga Muhammad Taufikurrohman, menjadi kiai dan ketua MWC NU Bantarsari, Cilacap. Putera keempat Muhamad Hanifudin, menjadi khodim di Lirboyo, Kediri dan puteri kelima Siti Zulaikho, menjadi pelayan masyarakat di Kemranjen, Banyumas. [DR]


Sumber:
Gus Balyan, putera Ibu Wasitah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *